Jangan marah!" begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayat kan Imam Bukhari.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang bisa saja marah. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Lalu apa makna hadis Nabi SAW itu? Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadis itu: "AlKhath thabi berkata, "Arti perkataan Rasu lullah SAW 'jangan marah' adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang meng arah kepadanya." Menurut 'Al-Khaththabi, marah itu tidaklah terlarang, karena itu adalah tabiat yang tak akan hilang dalam diri manusia.
Nah, apa yang harus dilakukan seorang Muslim ketika marah? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab alIslamiyah, mengungkapkan hendak nya seorang Muslim memperhatikan adab-abad yang berkaitan dengan marah. Berikut adab-adab yang perlu diperhatikan terkait marah.
Pertama, jangan marah, kecuali karena Allah SWT. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah karena Allah merupakan sesuatu yang disukai dan mendapatkan amal. Misalnya, marah ketika menyaksikan perbuatan haram merajalela. Seorang Muslim yang marah karena hukum Allah diabaikan merupakan contoh marah karena Allah.
"Seorang Muslim hendaknya menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tak mendatangkan pahala," tutur Syekh Sayyid Nada. Rasulullah SAW, kata dia, tak pernah marah karena dirinya, tapi marah karena Allah SWT. Nabi SAW pun tak pernah dendam, kecuali karena Allah SWT.
Kedua, berlemah lembut dan tak marah karena urusan dunia. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, sesungguhnya semua kemarahan itu buruk, kecuali karena Allah SWT. Ia mengingatkan, kemarahan kerap berujung dengan pertikaian dan perselisihan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar dan bisa pula memutuskan silaturahim.
Ketiga, mengingat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. "Ingatlah kekuasaan, perlindungan, keagungan, dan keperkasaan Sang Khalik ketika sedang marah," ungkap Syekh Sayyid Nada. Menurut dia, ketika mengingat kebesaran Allah SWT, maka kemarahan akan bisa diredam. Bahkan, mungkin tak jadi marah sama sekali. Sesungguhnya, papar Syekh Sayyid Nada, itulah adab paling bermanfaat yang dapat menolong seseorang untuk berlaku santun (sabar).
Keempat, menahan dan meredam amarah jika telah muncul.
Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, Allah SWT menyukai seseorang yang dapat menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul. Allah SWT berfirman, " … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS Ali Imran:134).
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bahri, ketika kemarahan tengah me muncak, hendaknya segera menahan dan meredamnya untuk tindakan keji. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki." (HR Ahmad).
Kelima, berlindung kepada Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, "Jika seseorang yang marah mengucapkan; 'A'uudzu billah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan reda kemarahannya." (HR Ibu 'Adi dalam al-Kaamil.)
Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam." (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian.
Ketujuh, mengubah posisi ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).
Kedelapan, berwudhu atau mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. "Maka dari itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat menghilangkan amarah serta gejolak darah," tuturnya, Kesembilan, memeberi maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya "... dan jika mereka marah mereka memberi maaf." (QS Asy-Syuura:37).
Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. "... dan ia tak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan... " begitu sifat Rasulullah SAW yang tertuang dalam Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS.
Kesabaran perlu diiringi kebijaksanaan. Tabah bukan mendedahkan diri untuk difitnah. Tanganilah, hadapilah, kejian yang salah dengan cara yang betul. Hadapi emosi sipengeji yang panas berapi dengan kepala sedingin salji. Jadikanlah kemarahan itu sebagai "pekerja" dan diri kita sebagai "majikan" nya. Biarlah marah yang bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuknya. Tuluskanlah,luruskanlah marahmu hanya kerana Allah semata. Uruskanlah marahmu mengikut kadar dan batasnya…

Saturday, 10 June 2017
Mengendalikan Marah Dan Sabar
Marah dan sabar selalu menjadi kontradiksi sikap manusia.
Marah adalah tabiat manusia.
Allah menciptakan marah karena untuk keperluan manfaat yang besar. Yaitu melindungi diri manusia dari sesuatu yang akan memberinya madharat kepada dirinya. Marah merupakan ungkapan tentang mendidihnya darah dalam hati seseorang.
Marah dalam syariat kita tidak diberikan celaan secara mutlak tetapi juga tidak diperintahkan, bahkan yang ada adalah larangan-larangan agar kita marah.
Di antara hadits yang menyebutkan akan larangan marah, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda yang ketika itu ada seorang lelaki meminta wasiat kepada beliau: يا رسولَ الله أوصني (wahai Rasulullah berikan aku wasiat) kata Rasulullah لا تغضب ( jangan kamu marah), jangan kamu marah dan ia terus mengulangi lagi, ia berkata lagi jangan marah, jangan marah. Akan tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah marah, marahnya karena Allah. Bukan karena hawa nafsu .
Oleh karena itu para ulama mengatakan: bahwa marah itu ada 2 macam, ada marah yang terpuji dan ada marah yang tercela.
Adapun marah yang tercela yaitu seseorang marah bukan karena Allah, karena membela kepentingannya, karena dunia, karena fanatik kelompok, maka ini adalah marah-marah yang dibenci oleh Allah سبحانه وتعالى .
Oleh karena itulah, ketika seseorang marah karena dirinya, marah karena membela dirinya, maka itu adalah marah yang tercela.
Dan ini yang dikatakan Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasul صلى الله عليه وسلم tidak pernah marah untuk dirinya. Akan tetapi apa bila larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliaupun marah.
Marah karena dunia kenapa tercela? Karena hal seperti itu hanya akan menimbulkan mudharat kepada dirinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: من كف غضبه ستر الله عوراته (Barang siapa yang menahan marahnya maka allah akan menutupi auratnya) kenapa demikian? Karena sesorang apabila marah sering kali tidak terkontrol lalu mengucapkan kata-kata yang tidak layak karena emosinya. Dia melakukan perbuatan yang tidak layak bagi orang yang berakal, bagi orang yang punya kewibawaan sehingga itu bisa menjatuhkan harkatnya, menjatuhkan martabatnya. Maka Rasulullah bersabda ... ...ومن كظم غيظا وهو قادر على أن ينفد إن شاء الله فملآ الله قلبه رضا يوم القيامة (dan siapa yang menahan amarahnya di mana ia mampu untuk melaksanakan amarahnya tersebut maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan kelak pada hari kiamat).
Maka dari itu seseorang penting untuk mengedalikan kemarahannya. Jangan sampai kemarahan itu menimbulkan penyesalan di dalam hatinya kelak. Ada seorang suami marah, akhirnya dia mencerai istrinya. Ada seseorang marah akhirnya membanting piring dan yang lainnya. Ada seseorang marah akhirnya tidak sadarkan diri, akhirnya melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. Maka dari itulah Islam memerintahkan kita untuk menahan amarah, karena kemarahan tidak ada kebaikannya ketika marah itu adalah sesuatu yang bukan karena Allah tetapi karena dunia.
Adapun yang kedua, yaitu marah karena Allah. Marah karena Allah sesuatu yang baik, tapi ingat caranya pun harus sesuai dengan syariat. Apa itu marah karena Allah? Seseorang marah karena larangan-larangan Allah dilanggar. Seseorang marah karena batasan-batasan Allah tidak dihormati. Maka yang seperti ini ikhwatul islam a’azzaniyallah kemarahan yang baik. Sebagaimana Rasul صلى الله عليه وسلم pernah suatu hari dilaporkan kepada Rasulullah: seorang laki-laki yang berkata " يا رسولَ الله إني لآتأخّرمن الفجر مما يطيل بنا الفلان ( Ya Rasulullah sesungguhnya aku terlambat dari shalat shubuh karena imamnya terlalu panjang membaca ) maka Ibnu Umar berkata “aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangat marah kecuali pada hari itu. Rasul bersabda "إن منكم منفّرين" (sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang lari). Subhaanallaah, Rasulullah marah. Kenapa? Karena ini berbahaya. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم melewati suatu kaum yang menggantungkan pedangnya di sebuah pohon yang menjadi tempat kalap berkah lalu ada orang berkata “wahai Rasulullah jadikan untuk kami tempat dzatu anwar sebagaimana mereka punya tempat dzatu anwar” maka Rasulullah marah dan berkata “ الله أكبر إنها سنني” ( Allahu akbar, ini adalah sunah) kalian telah mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Bani Israil kepada Musa. Subhaanallaah ya akhowatil islam.
Tapi terkadang seseorang niat marahnya karena Allah, namun tata caranya akhirnya malah mengundang kemurkaan dari Allah. Sebagaimana disebutkandalam riwayat Imam Ahmad: bahwa kata Rasulullah dahulu ada dua orang yang berteman, yang satu sholeh dan yang satu suka berbuat maksiat. Satu hari temannya melihat orang yang berbuat maksiat maka ia memberikan nasihat kepadanya. Kemudian keesokan harinya kembali temannya menemunkan temannya berbuat maksiat, ia pun memberikan nasihat. Kemudian apa yang terjadi, ketiga kalinya, dia melihat temannya berbuat maksiat makanya ia pun memberikan nasihat kemudian dia marah, marah sekali. Apa kata dia? "واللهِ, لايغفر الله لك" (demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosa kamu). Sampai begitu marahnya. Maka apa kata Rasulullah صلى الله عليه وسلم “Allah pun murka dan Allah berfirman:من ذاالذي يتعلّى عليّ عني لا أغفر لكم اشهدوا وأحبط عمل فلان (siapa yang berani bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak akan mengampuni dosa si fulan? Saksikan wahai para malaikat bahwa aku telah mengampuni dosa orang yang berbuat maksiat tadi dan aku telah membatalkan amalan orang shalih tadi). Lihat orang shalih ini marahnya karena Allah, tapi sayang caranya malah mendatangkan kemurkaan Allah. Ketika kita melihat kemunkaran kita marah, tapi terkadang kita malah membuat orang lain semakin lari, atau membantu syaithan untuk menyesatkan manusia lebih jauh lagi. Maka ya akhal Islam a’azzaniyallahu wa iyyakum, di sini kita penting untuk memanaje kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu walaupun karena Allah tapi ternyata malah mendatangkan kemurkaan dari Allah subhanahu wata’ala. Apa lagi marah-marah yang tercela karena dunia, karena membela diri, jelas ini sesuatu yang tercela sekali. Karena dirinya diejek, karena organisasi atau partainya direndahkan, dihina. Ini sesuatu yang tidak disukai dalam syariat Islam. Maka kata Rasulullah لا تغضب (jangan marah), kata Rasulullah: "ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب" (Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengalahkan orang lain, tetapi orang yang bisa menahan nafsunya ketika marah). Semoga kita termasuk diberikan oleh Allah kekuatan untuk menahan amarah kita sehingga kita termasuk orang-orang yang diridhai oleh Allah سبجانه وتعلى bahkan dipenuhi keridhaan hati kita kelak di yaumil akhir.
Kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Apa benar kesabaran itu ada batasnya? Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Allah subhaanahu wata’ala dalam alQuran memerintahkan kita untuk sabar.
Dalam ayat-ayat, di antaranya Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا
“Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan berusahalah terus untuk bersabar dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Tidak ada dalam alQuran maupun hadis Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa Allah memberikan batasan bahwa sabar itu ada batasnya. Seringkali kita mendengar ada orang berkata “sampai kapan kita bersabar?”. Bahkan mungkin ada orang berkata kesabaran saya sudah habis dan lain-lain. Subhaanallah akhal Islam a’azzakumullaah, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengabarkan tentang adanya pemimpin-pemimpin yang mereka itu tidak berhukum dengan hokum Allah. Mereka lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya.
Beliau bersabda: إنها ستكون العثرة (sesungguhnya akan ada pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya). Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, apa kata Rasulullah? "اصبروا حتى تلقوني على الحوض" (bersabarlah kamu!), sampai kapan? (sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl).
Di sini Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh kita untuk bersabar. Sampai kapan? Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan sabar itu ada batasnya? Tidak. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan bersabarlah sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl. Berarti sabar itu ya akhal Islam, sampai akhir hayat.
Kita manusia hidup di dunia tak lepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Setiap manusia diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala ujian dengan berbagai macam ragam-ragamnya. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian penderitaan, kesengsaraan. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian kekayaan. Masing-masing diuji kesabarannya. Orang yang menderita sakit, diuji kesabaran untuk menghadapi sakit. Begitupun orang yang menderita kesusahan, kesulitan dan kekurangan harta. Orang yang diberikan oleh Allah kekayaan, kesenangan diuji oleh Allah kesabarannya untuk menghadapi syahwat dia. Karena semakin senang, semakin banyak fasilitas, seseorang terkadang lebih mengikuti syahwatnya.
Manusia diuji selama hidup dia dalam kehidupan dia. Dengan apa? Dengan perintah, dengan larangan. Allah memerintahkan kita shalat, zakat, puasa, haji. Allah melarang kita juga berzina, judi dan berbagai macam larangan. Sampai kapan? Jawabannya satu, sampai akhir hayat. Sampai kita mati. Bolehkah kita berkata “sampai kapan saya bersabar untuk melaksanakan shalat?” selama kita beriman kepada Allah, kita butuh kesabaran.
Ali bin Abi Thalib berkata "الصبر في الإيمان بمنزلة الرأس في البدن" (kesabaran dengan keimanan itu sama dengan kepala untuk badan). Sebagaimana badan tidak akan hidup tanpa kepala. Demikian pula iman tak akan pernah hidup tanpa kesabaran.
Marah adalah tabiat manusia.
Allah menciptakan marah karena untuk keperluan manfaat yang besar. Yaitu melindungi diri manusia dari sesuatu yang akan memberinya madharat kepada dirinya. Marah merupakan ungkapan tentang mendidihnya darah dalam hati seseorang.
Marah dalam syariat kita tidak diberikan celaan secara mutlak tetapi juga tidak diperintahkan, bahkan yang ada adalah larangan-larangan agar kita marah.
Di antara hadits yang menyebutkan akan larangan marah, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda yang ketika itu ada seorang lelaki meminta wasiat kepada beliau: يا رسولَ الله أوصني (wahai Rasulullah berikan aku wasiat) kata Rasulullah لا تغضب ( jangan kamu marah), jangan kamu marah dan ia terus mengulangi lagi, ia berkata lagi jangan marah, jangan marah. Akan tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah marah, marahnya karena Allah. Bukan karena hawa nafsu .
Oleh karena itu para ulama mengatakan: bahwa marah itu ada 2 macam, ada marah yang terpuji dan ada marah yang tercela.
Adapun marah yang tercela yaitu seseorang marah bukan karena Allah, karena membela kepentingannya, karena dunia, karena fanatik kelompok, maka ini adalah marah-marah yang dibenci oleh Allah سبحانه وتعالى .
Oleh karena itulah, ketika seseorang marah karena dirinya, marah karena membela dirinya, maka itu adalah marah yang tercela.
Dan ini yang dikatakan Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasul صلى الله عليه وسلم tidak pernah marah untuk dirinya. Akan tetapi apa bila larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliaupun marah.
Marah karena dunia kenapa tercela? Karena hal seperti itu hanya akan menimbulkan mudharat kepada dirinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: من كف غضبه ستر الله عوراته (Barang siapa yang menahan marahnya maka allah akan menutupi auratnya) kenapa demikian? Karena sesorang apabila marah sering kali tidak terkontrol lalu mengucapkan kata-kata yang tidak layak karena emosinya. Dia melakukan perbuatan yang tidak layak bagi orang yang berakal, bagi orang yang punya kewibawaan sehingga itu bisa menjatuhkan harkatnya, menjatuhkan martabatnya. Maka Rasulullah bersabda ... ...ومن كظم غيظا وهو قادر على أن ينفد إن شاء الله فملآ الله قلبه رضا يوم القيامة (dan siapa yang menahan amarahnya di mana ia mampu untuk melaksanakan amarahnya tersebut maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan kelak pada hari kiamat).
Maka dari itu seseorang penting untuk mengedalikan kemarahannya. Jangan sampai kemarahan itu menimbulkan penyesalan di dalam hatinya kelak. Ada seorang suami marah, akhirnya dia mencerai istrinya. Ada seseorang marah akhirnya membanting piring dan yang lainnya. Ada seseorang marah akhirnya tidak sadarkan diri, akhirnya melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. Maka dari itulah Islam memerintahkan kita untuk menahan amarah, karena kemarahan tidak ada kebaikannya ketika marah itu adalah sesuatu yang bukan karena Allah tetapi karena dunia.
Adapun yang kedua, yaitu marah karena Allah. Marah karena Allah sesuatu yang baik, tapi ingat caranya pun harus sesuai dengan syariat. Apa itu marah karena Allah? Seseorang marah karena larangan-larangan Allah dilanggar. Seseorang marah karena batasan-batasan Allah tidak dihormati. Maka yang seperti ini ikhwatul islam a’azzaniyallah kemarahan yang baik. Sebagaimana Rasul صلى الله عليه وسلم pernah suatu hari dilaporkan kepada Rasulullah: seorang laki-laki yang berkata " يا رسولَ الله إني لآتأخّرمن الفجر مما يطيل بنا الفلان ( Ya Rasulullah sesungguhnya aku terlambat dari shalat shubuh karena imamnya terlalu panjang membaca ) maka Ibnu Umar berkata “aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangat marah kecuali pada hari itu. Rasul bersabda "إن منكم منفّرين" (sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang lari). Subhaanallaah, Rasulullah marah. Kenapa? Karena ini berbahaya. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم melewati suatu kaum yang menggantungkan pedangnya di sebuah pohon yang menjadi tempat kalap berkah lalu ada orang berkata “wahai Rasulullah jadikan untuk kami tempat dzatu anwar sebagaimana mereka punya tempat dzatu anwar” maka Rasulullah marah dan berkata “ الله أكبر إنها سنني” ( Allahu akbar, ini adalah sunah) kalian telah mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Bani Israil kepada Musa. Subhaanallaah ya akhowatil islam.
Tapi terkadang seseorang niat marahnya karena Allah, namun tata caranya akhirnya malah mengundang kemurkaan dari Allah. Sebagaimana disebutkandalam riwayat Imam Ahmad: bahwa kata Rasulullah dahulu ada dua orang yang berteman, yang satu sholeh dan yang satu suka berbuat maksiat. Satu hari temannya melihat orang yang berbuat maksiat maka ia memberikan nasihat kepadanya. Kemudian keesokan harinya kembali temannya menemunkan temannya berbuat maksiat, ia pun memberikan nasihat. Kemudian apa yang terjadi, ketiga kalinya, dia melihat temannya berbuat maksiat makanya ia pun memberikan nasihat kemudian dia marah, marah sekali. Apa kata dia? "واللهِ, لايغفر الله لك" (demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosa kamu). Sampai begitu marahnya. Maka apa kata Rasulullah صلى الله عليه وسلم “Allah pun murka dan Allah berfirman:من ذاالذي يتعلّى عليّ عني لا أغفر لكم اشهدوا وأحبط عمل فلان (siapa yang berani bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak akan mengampuni dosa si fulan? Saksikan wahai para malaikat bahwa aku telah mengampuni dosa orang yang berbuat maksiat tadi dan aku telah membatalkan amalan orang shalih tadi). Lihat orang shalih ini marahnya karena Allah, tapi sayang caranya malah mendatangkan kemurkaan Allah. Ketika kita melihat kemunkaran kita marah, tapi terkadang kita malah membuat orang lain semakin lari, atau membantu syaithan untuk menyesatkan manusia lebih jauh lagi. Maka ya akhal Islam a’azzaniyallahu wa iyyakum, di sini kita penting untuk memanaje kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu walaupun karena Allah tapi ternyata malah mendatangkan kemurkaan dari Allah subhanahu wata’ala. Apa lagi marah-marah yang tercela karena dunia, karena membela diri, jelas ini sesuatu yang tercela sekali. Karena dirinya diejek, karena organisasi atau partainya direndahkan, dihina. Ini sesuatu yang tidak disukai dalam syariat Islam. Maka kata Rasulullah لا تغضب (jangan marah), kata Rasulullah: "ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب" (Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengalahkan orang lain, tetapi orang yang bisa menahan nafsunya ketika marah). Semoga kita termasuk diberikan oleh Allah kekuatan untuk menahan amarah kita sehingga kita termasuk orang-orang yang diridhai oleh Allah سبجانه وتعلى bahkan dipenuhi keridhaan hati kita kelak di yaumil akhir.
Kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Apa benar kesabaran itu ada batasnya? Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Allah subhaanahu wata’ala dalam alQuran memerintahkan kita untuk sabar.
Dalam ayat-ayat, di antaranya Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا
“Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan berusahalah terus untuk bersabar dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Tidak ada dalam alQuran maupun hadis Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa Allah memberikan batasan bahwa sabar itu ada batasnya. Seringkali kita mendengar ada orang berkata “sampai kapan kita bersabar?”. Bahkan mungkin ada orang berkata kesabaran saya sudah habis dan lain-lain. Subhaanallah akhal Islam a’azzakumullaah, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengabarkan tentang adanya pemimpin-pemimpin yang mereka itu tidak berhukum dengan hokum Allah. Mereka lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya.
Beliau bersabda: إنها ستكون العثرة (sesungguhnya akan ada pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya). Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, apa kata Rasulullah? "اصبروا حتى تلقوني على الحوض" (bersabarlah kamu!), sampai kapan? (sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl).
Di sini Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh kita untuk bersabar. Sampai kapan? Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan sabar itu ada batasnya? Tidak. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan bersabarlah sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl. Berarti sabar itu ya akhal Islam, sampai akhir hayat.
Kita manusia hidup di dunia tak lepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Setiap manusia diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala ujian dengan berbagai macam ragam-ragamnya. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian penderitaan, kesengsaraan. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian kekayaan. Masing-masing diuji kesabarannya. Orang yang menderita sakit, diuji kesabaran untuk menghadapi sakit. Begitupun orang yang menderita kesusahan, kesulitan dan kekurangan harta. Orang yang diberikan oleh Allah kekayaan, kesenangan diuji oleh Allah kesabarannya untuk menghadapi syahwat dia. Karena semakin senang, semakin banyak fasilitas, seseorang terkadang lebih mengikuti syahwatnya.
Manusia diuji selama hidup dia dalam kehidupan dia. Dengan apa? Dengan perintah, dengan larangan. Allah memerintahkan kita shalat, zakat, puasa, haji. Allah melarang kita juga berzina, judi dan berbagai macam larangan. Sampai kapan? Jawabannya satu, sampai akhir hayat. Sampai kita mati. Bolehkah kita berkata “sampai kapan saya bersabar untuk melaksanakan shalat?” selama kita beriman kepada Allah, kita butuh kesabaran.
Ali bin Abi Thalib berkata "الصبر في الإيمان بمنزلة الرأس في البدن" (kesabaran dengan keimanan itu sama dengan kepala untuk badan). Sebagaimana badan tidak akan hidup tanpa kepala. Demikian pula iman tak akan pernah hidup tanpa kesabaran.
Makna Dan Hakikat Sabar Yang Sesungguhnya
Seseorang terkadang hanya mengartikan sabar itu adalah siap untuk menunggu , mampu meredam emosi saat marah, bertahan ketika menghadapi kesulitan . Membahas Makna dan Hakikat Sabar Yang Sesungguhnya tidak lah cukup dalam satu artikel ini namun kita akan mencuba membahas dengan sesederhana mungkin agar mudah difahami dan bisa mencangkup semuanya.
Sabar adalah Kerja Keras
Maksud dari arti sabar adalah kerja keras , mugkin kita bisa contohkan dalam kita berbisnis , terkadang saat kita usaha sesuatu semisalkan makanan dan sebagainya , usaha tersebut redup dan kurang pengunjung , perkiraan yang kita sudah rancang tidak sesuai , kemudian konsumen sudah hampir tidak ada, dimana kita harus menggaji pegawai dan sebagainya. kebanyakan orang hanya akan bersabar dan menunggu namun tindakan ini adalah salah. Namun kita harus terus berusaha dan bekerja keras dalam mengembangkan usaha yang kita jalani bukannya pasrah, sehingga jika seseorang bilang dia sabar namun tidak berusaha untuk berubah dan bekerja keras maka itu hanyalah sebuah kata-kata yang tidak bisa di pertanggung jawabkan karena sabar itu adalah mereka yang mau bekerja keras dan tidak pasrah menunggu hasil.
Sabar Aktif dan Sabar Pasif
Orang sabar itu bukanlah orang yang diam saja pasrah akan hasil melainkan orang sabar itu harus aktif dimana sabar aktif adalah sabar yang selalu diikuti oleh sebuah proses , semisalkan kita ada masalah kita bukan hanya sekedar sabar menerima namun kita harus sabar dan mencari solusi. Janganlah kita menjadi sabar pasif dimana sabar pasif hanya sabar dan tidak melakukan apa-apa, semisalkan nilai kuliah kita jelek maka kita hanya sabar dan menerima , dan tidak berusaha memperbaiki. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwasanya sabar itu harus lah diterapkan dalam semua hal dalam kehidupan kita termasuk berusaha, belajar, menghadapi masalah, hingga dalam ibadah pun kita harus bersabar.
Sabar Adalah Bahan Bakar Bukan Tindakan
Banyak dari kita berfikir bahwa sabar adalah sebuah tindakan sehingga kita bersabar hanya menunggu bukan menyelesaikan, sabar itu merupaan sebuah bahan bakar untuk kita menyelesaikan sebuah masalah dan sebagainya. Saat kita bersabar maka kita tidak melakukan sesuatu maka kita hanyalah orang sabar pasif , namun saat kita bersabar itu hanyalah sebuah awal untuk kita bergerak dalam melakukan sesuatu seperti halnya sebuah kendaraan yang membutuhkan bahan bakar untuk bergerak. Dengan kita bersabar maka semua tindakan yang kita lakukan akan menjadi berkualitas dan membuat kita menjadi tangguh,
Kesabaran Tidak Terbatas
Kesabaran itu tidak lah terbatas, hanya saja kita sendiri yang membatasinya. Sehingga ada yang sering berkata "Sabar itu ada batasnya" maka secara tidak langsung dia membatasi kesabarannya sendiri, karena kata-kata adalah do'a. Terkadang saat seseorang menahan amarah bukan lagi sebuah bentuk kesabaran melainkan bentuk dari sebuah kepasrahan karena sabar itu merupakan sebuah kerja keras yang dimana sabar itu aktif dalam melakukan sesuatu , karena sabar itu adalah bahan bakar. terkadang kita boleh marah asalkan itu demi sebuah kebaikan . Seperti misalkan keluarga kita ada yang melakukan tindakan yang tidak benar maka kita harus bisa memarahi dia dengan cara menasehati yang benar seperti apa. Karena marah untuk hal yang baik itu adalah bentuk dari kesabaran.
Sabar Bukan Berarti Tidak Berdaya
Orang sabar bukan orang lemah , melainkan orang yang kuat dan mampu bertahan serta menyerang. Bertahan saat menghadapi berbagai tantangan yang kemudian membutuhkan sebuah pertahanan yang kuat seperti menahan emosi, menghadapi musibah, atau menunggu sesuatu. Kemudian menyerang disaat menghadapi beberapa hal yang harus di selesaikan , seperti menyelesaikan tantangan , mengembangkan usaha , belajar, atau mengahdapi ujian apa pun. Oleh karena itu dengan kesabaran kita dapat menunjukkan tingkat ketangguhan kita.
Sabar Adalah Berjuang Pantang Menyerah
Disaat kita ditugaskan sabar menunggu bukan berarti kita harus bertahan menunggu sampai selesai, namun arti dari sabar tersebut yaitu kita harus berjuang pantang menyerah untuk melawan keinginan dari berhenti menunggu. Oleh karena itu menunggu bukanlah sabar melainkan sabar adalah kunci untuk kita bisa menunggu.
Saat kita mendapatkan ejekan dan sebaginya dari orang maka kita hanya perlu bersabar, yang artinya kita harus berjuang pantang menyerah untuk menahan diri kita dari yang namanya emosi negatif (marah) yang mungkin bisa memperburuk suasana. Oleh karena itu emosi bukanlah kesabaran melainkan sabar dalah kunci untuk kita bisa menahan emosi.
Bersabarlah!!!
Apapun yang kita hadapi maka kita hanya perlu bersabar, ketikan kita sudah bersabar maka kita seperti seorang kesatria tanpa pedang yang mampu mengalahkan dan menghadapi semua rintangan, masalah yang ada dalah hidup ini. Bersabarlah karea sabar merupaka hal yang positif dengan iman kita, dan menjadikan kita lebih tangguh dan kuat sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang mulia bahkan bisa membuahkan surga.
Sabar adalah Kerja Keras
Maksud dari arti sabar adalah kerja keras , mugkin kita bisa contohkan dalam kita berbisnis , terkadang saat kita usaha sesuatu semisalkan makanan dan sebagainya , usaha tersebut redup dan kurang pengunjung , perkiraan yang kita sudah rancang tidak sesuai , kemudian konsumen sudah hampir tidak ada, dimana kita harus menggaji pegawai dan sebagainya. kebanyakan orang hanya akan bersabar dan menunggu namun tindakan ini adalah salah. Namun kita harus terus berusaha dan bekerja keras dalam mengembangkan usaha yang kita jalani bukannya pasrah, sehingga jika seseorang bilang dia sabar namun tidak berusaha untuk berubah dan bekerja keras maka itu hanyalah sebuah kata-kata yang tidak bisa di pertanggung jawabkan karena sabar itu adalah mereka yang mau bekerja keras dan tidak pasrah menunggu hasil.
Sabar Aktif dan Sabar Pasif
Orang sabar itu bukanlah orang yang diam saja pasrah akan hasil melainkan orang sabar itu harus aktif dimana sabar aktif adalah sabar yang selalu diikuti oleh sebuah proses , semisalkan kita ada masalah kita bukan hanya sekedar sabar menerima namun kita harus sabar dan mencari solusi. Janganlah kita menjadi sabar pasif dimana sabar pasif hanya sabar dan tidak melakukan apa-apa, semisalkan nilai kuliah kita jelek maka kita hanya sabar dan menerima , dan tidak berusaha memperbaiki. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwasanya sabar itu harus lah diterapkan dalam semua hal dalam kehidupan kita termasuk berusaha, belajar, menghadapi masalah, hingga dalam ibadah pun kita harus bersabar.
Sabar Adalah Bahan Bakar Bukan Tindakan
Banyak dari kita berfikir bahwa sabar adalah sebuah tindakan sehingga kita bersabar hanya menunggu bukan menyelesaikan, sabar itu merupaan sebuah bahan bakar untuk kita menyelesaikan sebuah masalah dan sebagainya. Saat kita bersabar maka kita tidak melakukan sesuatu maka kita hanyalah orang sabar pasif , namun saat kita bersabar itu hanyalah sebuah awal untuk kita bergerak dalam melakukan sesuatu seperti halnya sebuah kendaraan yang membutuhkan bahan bakar untuk bergerak. Dengan kita bersabar maka semua tindakan yang kita lakukan akan menjadi berkualitas dan membuat kita menjadi tangguh,
Kesabaran Tidak Terbatas
Kesabaran itu tidak lah terbatas, hanya saja kita sendiri yang membatasinya. Sehingga ada yang sering berkata "Sabar itu ada batasnya" maka secara tidak langsung dia membatasi kesabarannya sendiri, karena kata-kata adalah do'a. Terkadang saat seseorang menahan amarah bukan lagi sebuah bentuk kesabaran melainkan bentuk dari sebuah kepasrahan karena sabar itu merupakan sebuah kerja keras yang dimana sabar itu aktif dalam melakukan sesuatu , karena sabar itu adalah bahan bakar. terkadang kita boleh marah asalkan itu demi sebuah kebaikan . Seperti misalkan keluarga kita ada yang melakukan tindakan yang tidak benar maka kita harus bisa memarahi dia dengan cara menasehati yang benar seperti apa. Karena marah untuk hal yang baik itu adalah bentuk dari kesabaran.
Sabar Bukan Berarti Tidak Berdaya
Orang sabar bukan orang lemah , melainkan orang yang kuat dan mampu bertahan serta menyerang. Bertahan saat menghadapi berbagai tantangan yang kemudian membutuhkan sebuah pertahanan yang kuat seperti menahan emosi, menghadapi musibah, atau menunggu sesuatu. Kemudian menyerang disaat menghadapi beberapa hal yang harus di selesaikan , seperti menyelesaikan tantangan , mengembangkan usaha , belajar, atau mengahdapi ujian apa pun. Oleh karena itu dengan kesabaran kita dapat menunjukkan tingkat ketangguhan kita.
Sabar Adalah Berjuang Pantang Menyerah
Disaat kita ditugaskan sabar menunggu bukan berarti kita harus bertahan menunggu sampai selesai, namun arti dari sabar tersebut yaitu kita harus berjuang pantang menyerah untuk melawan keinginan dari berhenti menunggu. Oleh karena itu menunggu bukanlah sabar melainkan sabar adalah kunci untuk kita bisa menunggu.
Saat kita mendapatkan ejekan dan sebaginya dari orang maka kita hanya perlu bersabar, yang artinya kita harus berjuang pantang menyerah untuk menahan diri kita dari yang namanya emosi negatif (marah) yang mungkin bisa memperburuk suasana. Oleh karena itu emosi bukanlah kesabaran melainkan sabar dalah kunci untuk kita bisa menahan emosi.
Bersabarlah!!!
Apapun yang kita hadapi maka kita hanya perlu bersabar, ketikan kita sudah bersabar maka kita seperti seorang kesatria tanpa pedang yang mampu mengalahkan dan menghadapi semua rintangan, masalah yang ada dalah hidup ini. Bersabarlah karea sabar merupaka hal yang positif dengan iman kita, dan menjadikan kita lebih tangguh dan kuat sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang mulia bahkan bisa membuahkan surga.
Imbangi Marahmu, Gapai Ridho Rabbmu
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat. Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri …
Keutamaan Menahan Marah Marah Dalam Islam Menahan Amarah Hadis Tentang Marah Hadits Marah
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat.
Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan enggan untuk diselisihi keinginannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah”[1].
Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya[2].
Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Artinya: jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka[3].
Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”[4].Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allah Ta’ala, yang ini sangat sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia[5].
Imam al-Munawi berkata,“Makna hadits ini: orang kuat (yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan emosinya ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (hawa nafsunya)”[6].
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah”[7].Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya”[9].
Imam ath-Thiibi berkata, “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,
{وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134)”[10].
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahnnya karena Allah Ta’ala[11], adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.Seorang mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”[12].
Menahan marah adalah kunci segala kebaikan
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab: “Janganlah engkau marah”[13].
Orang ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas dan menghimpun semua sifat baik, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya untuk selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama: “Janganlah engkau marah”. Ini semua menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya adalah penghimpun segala kebaikan[14].
Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”.
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal dan imam Ishak bin Rahuyah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”[15].
Maka perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas: “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (menahan kemarahan) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, merendahkan diri, sabar, tidak menyakiti orang lain, memaafkan, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan kemarahannya pada saat timbul sebab-sebab yang memancing kemarahannya[16].
Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasi kemarahan ketika muncul pemicunya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memberi petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah Ta’ala[17], di antaranya:
Berlindung kepada Allah Ta’ala dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad beliau berkata: “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela, salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat lehernya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”[18].
Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah[19].
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”[20].
Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain[21].
Dari Abu Dzar al-Gifari bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring”[22].
Di samping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah, yang ini akan menutup jalan-jalan setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan[23]. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah, maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Malik berkata kepadanya: Engkau wahai Amirul mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini? Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Malik? Lalu ‘Abdul Malik menjawab: Tidak ada gunanya bagiku lapangnya perutku (dadaku) kalau tidak aku (gunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan)[24].
Marah yang terpuji
Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”[25].
Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allah Ta’ala, yaitu marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allah Ta’ala dilanggar oleh manusia.
Inilah akhlak mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu ridha dengan apa yang Allah ridhai dalam al-Qur’an dan benci/marah dengan apa yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an[26].
‘Aisyah berkata: “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[27]. Dalam riwayat lain ada tambahan: “…Beliau marah/benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur’an dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’an”[28].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allah baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allah Ta’ala). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum/mencela orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya r, sebagaimana firman-Nya:
{قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرُكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ}
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman” (QS at-Taubah: 14-15)”[29].
PenutupDemikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.
Akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Keutamaan Menahan Marah Marah Dalam Islam Menahan Amarah Hadis Tentang Marah Hadits Marah
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat.
Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan enggan untuk diselisihi keinginannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah”[1].
Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya[2].
Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Artinya: jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka[3].
Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”[4].Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allah Ta’ala, yang ini sangat sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia[5].
Imam al-Munawi berkata,“Makna hadits ini: orang kuat (yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan emosinya ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (hawa nafsunya)”[6].
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah”[7].Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya”[9].
Imam ath-Thiibi berkata, “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,
{وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134)”[10].
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahnnya karena Allah Ta’ala[11], adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.Seorang mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”[12].
Menahan marah adalah kunci segala kebaikan
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab: “Janganlah engkau marah”[13].
Orang ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas dan menghimpun semua sifat baik, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya untuk selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama: “Janganlah engkau marah”. Ini semua menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya adalah penghimpun segala kebaikan[14].
Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”.
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal dan imam Ishak bin Rahuyah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”[15].
Maka perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas: “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (menahan kemarahan) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, merendahkan diri, sabar, tidak menyakiti orang lain, memaafkan, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan kemarahannya pada saat timbul sebab-sebab yang memancing kemarahannya[16].
Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasi kemarahan ketika muncul pemicunya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memberi petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah Ta’ala[17], di antaranya:
Berlindung kepada Allah Ta’ala dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad beliau berkata: “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela, salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat lehernya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”[18].
Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah[19].
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”[20].
Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain[21].
Dari Abu Dzar al-Gifari bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring”[22].
Di samping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah, yang ini akan menutup jalan-jalan setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan[23]. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah, maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Malik berkata kepadanya: Engkau wahai Amirul mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini? Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Malik? Lalu ‘Abdul Malik menjawab: Tidak ada gunanya bagiku lapangnya perutku (dadaku) kalau tidak aku (gunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan)[24].
Marah yang terpuji
Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”[25].
Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allah Ta’ala, yaitu marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allah Ta’ala dilanggar oleh manusia.
Inilah akhlak mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu ridha dengan apa yang Allah ridhai dalam al-Qur’an dan benci/marah dengan apa yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an[26].
‘Aisyah berkata: “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[27]. Dalam riwayat lain ada tambahan: “…Beliau marah/benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur’an dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’an”[28].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allah baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allah Ta’ala). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum/mencela orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya r, sebagaimana firman-Nya:
{قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرُكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ}
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman” (QS at-Taubah: 14-15)”[29].
PenutupDemikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.
Akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Antara Sabar Dan Marah
Jangan Marah
Bagaimana rasa kita bila mulut yang pernah kita suap tiba-tiba menggigit kita? Atau bila seorang yang lemah lembut kononnya datang hendak membantu kita tetapi punya seribu satu rencana rahsia untuk menjatuhkan kita? Atau dia yang begitu memuji memuja bvila berhadapan mata tetapi menikam dengan belati umpatan dan celaan ketika di belakang kita? Atau kita berdepan dengan “pelakon” handalan yang pandai sekali bermuka-muka tetapi penuh dengan strategi dan dendam untuk menghancurkan keperibadian atau karier kita? Jawabnya… JANGAN MARAH!
Kemarahan kita kepada seseorang akan memudaratkan kita sendiri lebih daripada orang yang kita marahkan. Justeru, memaafkan adalah langkah yang paling baik – bukan sahaja untuk orang lain tetapi untuk diri kita sendiri. Ertinya, memaafkan orang lain samalah seperti memaafkan diri sendiri. Diri kita akan menjadi lebih tenang, ceria dan stabil apabila memaafkan ’musuh-musuh’ kita.
Menurut ajaran Islam kemarahan berasal daripada syaitan, dan syaitan berasal daripada api. Api itu panas dan membakar. Bahangnya akan menyebabkan pertimbangan hati, akal dan perasaan kita tidak seimbang – sepertimana molekul cecair atau gas apabila dipanaskan. Malah, ada kesan biologi yang negatif apabila kita marah – degupan jantung, aliran darah, retina mata dan rembesan hormon berubah daripada biasa. Muka menjadi merah, telinga menjadi panas, gigi serta bibir mengetap… Benarlah seperti yang dianjurkan oleh Imam Ghazali apabila seseorang itu marah ” pandang betapa hodoh wajahmu di muka cermin!”
Namun, siapakah yang tidak pernah marah? Marah itu sebahagian daripada sifat tabi’e manusia. Tanpa marah, manusia bukan manusia lagi. Justeru, marah itupun satu anugerah. Dengan adanya sifat marah, timbullah semangat mempertahankan diri, keluarga bahkan agama. Ringkasnya, marah itu ada yang terpuji, ada yang dikeji. Marah yang terpuji bila sesuai pada tempat, sebab dan keadaannya.
Bila agama dikeji, kita mesti marah. Ketika itu jika kita tidak marah, Allah akan marahkan kita. Sebaliknya, bila diri peribadi kita yang dikeji, dianjurkan supaya bersabar. Ini soal personal. Memaafkan, lebih utama. Sayangnya, hal yang sebaliknya selalu berlaku. Bila agama dikeji, kita selamba. Bila diri dikeji, marah kita seakan menggila.
Bagaimana kita boleh menteladani Sayidina Ali r.a. yang masih mampu membezakan ’jenis’ marahnya di saat kritikal? Ketika dia diludah oleh musuhnya sewaktu hendak memancung kepala musuh tersebut, Sayyidina Ali tiba-tiba berhenti justeru merasakan marahnya bukan lagi atas semangat jihad fisabilillah tetapi oleh kebencian melulu yang lebih bersifat personal.
Termasyhur kata-kata ahli rohani, jika diri dikeji… telitilah, muhasabahlah, apakah kejian itu sesuatu yang benar dan tepat? Jika benar dan tepat, kejian itu mesti dilihat sebagai ’teguran’ daripada Allah melalui lidah manusia. Koreksi dan perbaikilah diri segera. Namun sekiranya kejian itu tidak benar, apa hendak dirisaukan? Bukan manusia yang menentukan mudarat dan dosa. Biarkan ia berlalu, jangan takut kepada orang yang mencerca!
Namun itu tidak bermakna kita jumud hingga merelakan diri untuk sewenang-wenaangnya diperkotak-katikkan. Kesabaran perlu diiringi kebijaksanaan. Tabah bukan mendedahkan diri untuk difitnah. Tanganilah, hadapilah, kejian yang salah dengan cara yang betul. Hadapi emosi sipengeji yang panas berapi dengan kepala sedingin salji.
Jadikanlah kemarahan itu sebagai ’pekerja’ dan diri kita sebagai ’majikan’nya. Biarlah marah yang bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuknya. Jadi, mula-mula, tuluskanlah marahmu hanya kerana Allah semata. Kemudian luruskanlah marah itu pada jalan yang dibenarkan-Nya sahaja. Kemudian uruskanlah marahmu mengikut kadar dan batasnya…
Jadikanlah marah umpama api di dapur hatimu. Panasnya, biar berpadanan. Jangan terlalu kecil, hingga tindakan mu kelihatan ’mentah’. Jangan pula keterlaluan hingga peribadimu hangus terbakar!
Bagaimana rasa kita bila mulut yang pernah kita suap tiba-tiba menggigit kita? Atau bila seorang yang lemah lembut kononnya datang hendak membantu kita tetapi punya seribu satu rencana rahsia untuk menjatuhkan kita? Atau dia yang begitu memuji memuja bvila berhadapan mata tetapi menikam dengan belati umpatan dan celaan ketika di belakang kita? Atau kita berdepan dengan “pelakon” handalan yang pandai sekali bermuka-muka tetapi penuh dengan strategi dan dendam untuk menghancurkan keperibadian atau karier kita? Jawabnya… JANGAN MARAH!
Kemarahan kita kepada seseorang akan memudaratkan kita sendiri lebih daripada orang yang kita marahkan. Justeru, memaafkan adalah langkah yang paling baik – bukan sahaja untuk orang lain tetapi untuk diri kita sendiri. Ertinya, memaafkan orang lain samalah seperti memaafkan diri sendiri. Diri kita akan menjadi lebih tenang, ceria dan stabil apabila memaafkan ’musuh-musuh’ kita.
Menurut ajaran Islam kemarahan berasal daripada syaitan, dan syaitan berasal daripada api. Api itu panas dan membakar. Bahangnya akan menyebabkan pertimbangan hati, akal dan perasaan kita tidak seimbang – sepertimana molekul cecair atau gas apabila dipanaskan. Malah, ada kesan biologi yang negatif apabila kita marah – degupan jantung, aliran darah, retina mata dan rembesan hormon berubah daripada biasa. Muka menjadi merah, telinga menjadi panas, gigi serta bibir mengetap… Benarlah seperti yang dianjurkan oleh Imam Ghazali apabila seseorang itu marah ” pandang betapa hodoh wajahmu di muka cermin!”
Namun, siapakah yang tidak pernah marah? Marah itu sebahagian daripada sifat tabi’e manusia. Tanpa marah, manusia bukan manusia lagi. Justeru, marah itupun satu anugerah. Dengan adanya sifat marah, timbullah semangat mempertahankan diri, keluarga bahkan agama. Ringkasnya, marah itu ada yang terpuji, ada yang dikeji. Marah yang terpuji bila sesuai pada tempat, sebab dan keadaannya.
Bila agama dikeji, kita mesti marah. Ketika itu jika kita tidak marah, Allah akan marahkan kita. Sebaliknya, bila diri peribadi kita yang dikeji, dianjurkan supaya bersabar. Ini soal personal. Memaafkan, lebih utama. Sayangnya, hal yang sebaliknya selalu berlaku. Bila agama dikeji, kita selamba. Bila diri dikeji, marah kita seakan menggila.
Bagaimana kita boleh menteladani Sayidina Ali r.a. yang masih mampu membezakan ’jenis’ marahnya di saat kritikal? Ketika dia diludah oleh musuhnya sewaktu hendak memancung kepala musuh tersebut, Sayyidina Ali tiba-tiba berhenti justeru merasakan marahnya bukan lagi atas semangat jihad fisabilillah tetapi oleh kebencian melulu yang lebih bersifat personal.
Termasyhur kata-kata ahli rohani, jika diri dikeji… telitilah, muhasabahlah, apakah kejian itu sesuatu yang benar dan tepat? Jika benar dan tepat, kejian itu mesti dilihat sebagai ’teguran’ daripada Allah melalui lidah manusia. Koreksi dan perbaikilah diri segera. Namun sekiranya kejian itu tidak benar, apa hendak dirisaukan? Bukan manusia yang menentukan mudarat dan dosa. Biarkan ia berlalu, jangan takut kepada orang yang mencerca!
Namun itu tidak bermakna kita jumud hingga merelakan diri untuk sewenang-wenaangnya diperkotak-katikkan. Kesabaran perlu diiringi kebijaksanaan. Tabah bukan mendedahkan diri untuk difitnah. Tanganilah, hadapilah, kejian yang salah dengan cara yang betul. Hadapi emosi sipengeji yang panas berapi dengan kepala sedingin salji.
Jadikanlah kemarahan itu sebagai ’pekerja’ dan diri kita sebagai ’majikan’nya. Biarlah marah yang bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuknya. Jadi, mula-mula, tuluskanlah marahmu hanya kerana Allah semata. Kemudian luruskanlah marah itu pada jalan yang dibenarkan-Nya sahaja. Kemudian uruskanlah marahmu mengikut kadar dan batasnya…
Jadikanlah marah umpama api di dapur hatimu. Panasnya, biar berpadanan. Jangan terlalu kecil, hingga tindakan mu kelihatan ’mentah’. Jangan pula keterlaluan hingga peribadimu hangus terbakar!
Subscribe to:
Posts (Atom)